Rabu, 28 Desember 2016

Cerpen 2



Tampuk pemegang kekuasaan kini beralih pada La Kakanu. Sosok penguasa kampung itu diberi gelar sebagai Bonto. Mangkatnya sang ayah menjadikannya pewaris utama untuk pengemban amanah leluhurnya. Sebuah jabatan tertinggi yang dapat mengangkat derajatnya. Namun menjadi pemimpin yang bijak dan jujur memiliki banyak tantangan. Semenjak penjajah merasuki tatanan kerajaan, menyebabkan pemerintahan kampung selalu mengarah pada ketidakadilan bagi penduduk. Tuntutan rakyatnya untuk menciptakan keadaan yang lebih baik menjadi pemikiran serius La Kakanu untuk menjalankan warisan leluhurnya.
“Apa yang harus kamu urus duluan Kakanu.” Tanya istrinya.
“Aku bingung harus mulai dari mana. Apakah kamu punya saran?”
“Sebaiknya perkuat dulu kedudukan tokoh agama. Ajaklah mereka dalam memberikan masukan perubahan pemerintahanmu.”
“Jika tokoh agama itu aku rangkul duluan, pastilah banyak yang menentangnya bu.”
“Itu sebuah resiko. Apakah kamu akan tetap bekerjasama dengan penjajah itu?”
“Aku akan menawarkan kerjasama yang dapat berpihak pada warga kampung. Aku sadar semua perjanjian selama ini, hanya berpihak pada kaum penjajah itu. Akhirnya warga kampung menderita.”
“Bagaimana kamu memulainya?”
Mendengar pertanyaan itu La Kakanu menarik napas. Langkah kakinya menuju jendela yang terbuka. Dia merasa seakan beban berat tengah dipikulnya. Lama terdiam sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya.
“Apakah kamu punya saran lagi?”
“Jika merangul tokoh agama saja dirasa susah, pertemukanlah mereka dengan tokoh adat terlebih dahulu. Pendapat mereka ditampung lalu kamulah yang memutuskannya.”
“Saranmu akan aku pertimbangkan. Memang aku mengakui saat ini, untuk mengambil keputusan saja sangatlah sulit.”
Selanjutnya......tunggu bukunya terbit ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELAS BERCERITA DALAM TAMU SAGA

  Bukan Pelajaran Bahasa atau Seni. Ini tentang sains dalam mendorong numerasi dan literasi dilingkungan sekolah. Ketika rapor pendidikan me...