Tampuk pemegang kekuasaan kini beralih pada La Kakanu.
Sosok penguasa kampung itu diberi gelar sebagai Bonto. Mangkatnya sang ayah menjadikannya pewaris utama untuk
pengemban amanah leluhurnya. Sebuah jabatan tertinggi yang dapat mengangkat
derajatnya. Namun menjadi pemimpin yang bijak dan jujur memiliki banyak
tantangan. Semenjak penjajah merasuki tatanan kerajaan, menyebabkan
pemerintahan kampung selalu mengarah pada ketidakadilan bagi penduduk. Tuntutan
rakyatnya untuk menciptakan keadaan yang lebih baik menjadi pemikiran serius La
Kakanu untuk menjalankan warisan leluhurnya.
“Apa yang harus kamu urus duluan Kakanu.” Tanya
istrinya.
“Aku bingung harus mulai dari mana. Apakah kamu punya
saran?”
“Sebaiknya perkuat dulu kedudukan tokoh agama. Ajaklah
mereka dalam memberikan masukan perubahan pemerintahanmu.”
“Jika tokoh agama itu aku rangkul duluan, pastilah
banyak yang menentangnya bu.”
“Itu sebuah resiko. Apakah kamu akan tetap bekerjasama
dengan penjajah itu?”
“Aku akan menawarkan kerjasama yang dapat berpihak pada
warga kampung. Aku sadar semua perjanjian selama ini, hanya berpihak pada kaum
penjajah itu. Akhirnya warga kampung menderita.”
“Bagaimana kamu memulainya?”
Mendengar pertanyaan itu La Kakanu menarik napas.
Langkah kakinya menuju jendela yang terbuka. Dia merasa seakan beban berat
tengah dipikulnya. Lama terdiam sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya.
“Apakah kamu punya saran lagi?”
“Jika merangul tokoh agama saja dirasa susah,
pertemukanlah mereka dengan tokoh adat terlebih dahulu. Pendapat mereka
ditampung lalu kamulah yang memutuskannya.”
“Saranmu akan aku pertimbangkan. Memang aku mengakui
saat ini, untuk mengambil keputusan saja sangatlah sulit.”
Selanjutnya......tunggu bukunya terbit ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar