Sorot matanya sayup dan kedua telapak tangannya
berusaha menindih perutnya yang kian kempis. Dia duduk di atas batu menghadap ke
pondoknya yang hampir roboh. Sudah dua hari makanan tak kunjung masuk dalam
perutnya. Bukan karena penyakit akan tetapi semua yang tersisa di para-para telah dirampas algojo penarik
pajak penjajah. Akal pikiranya menyusut dan menyamarkan kepekaan telinga
sehingga panggilan ibunya terdengar samar.
“Bose…, Bose…, oh La Bose?” Ibunya memangilnya
berali-kali.
“Iya Ina!”
Jawabnya sambil berlari mendekati ibunya.
“Kamu lapar ya?”
“Iya Ina.
Perutku sejak semalam berbunyi terus dan agak sakit.”
Semenjak ayahnya meninggal dia sangat bergantung pada
jerih payah ibunya. Mereka hidup sangat sederhana. Pakaian penutup tubuh pun
terkadang digunakan saling bergantian. Jalan menuju hutan yang berintang duri ilalang dan gititan serangga, tidak
diperdulikan oleh kedua insan yang kelaparan itu. Tujuannya hanya satu,
mendapatkan makanan secapatnya.
“Ina
menunduklah cepat.”
“Ada apa Bose?” Tanya ibunya dengan berbisik.
“Sepertinya kita akan mendapatkan hewan buruan.”
Ancang-ancang diambilnya dengan berlahan. Balase yang dijinjingnya dilepaskan
dengan hati-hati. Sorot matanya tajam tak terpejam, menatap sasaran yang akan
ditombaknya. Saat pikiran dan raganya siap, tiba-tiba seekor kupu-kupu menghinggap
tepat dihidungnya. Sayap kupu-kupu yang mengambang menghalau pandangannya.
“Ah…, kupu-kupu ini telah menyebabkan sasaranku
meleset.” Kata La Bose sambil memegang sayap kupu-kupu itu.
“Sudalah, itu berarti belum rezeki.”
“Tapi kupu-kupu ini harus menerima balasanya.”
“Bose,
lepaskanlah! Janganlah kamu membunuhnya. KISAH SELANJUTNYA......TUNGGU BUKUNYA TERBIT YA...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar