Lebaran berarti kegembiraan tersendiri bagi anak-anak Lahontohe. Bukan hanya gembira telah
berpuasa selama sebulan, akan tetapi santapan masakan dari beras menjadi
hidangan istimewa yang telah lama dinanti. Namun suasana berseri-seri seakan
menjauh dari wajah Wa Sule. Dia Duduk di pondok kecilnya, memangku nyiru dengan
tumpukan jagung yang baru saja di penen oleh kedua orang tuanya. Kegagalan
panen padi ladang yang ditanamnya menjadi penyebab kesusahan hatinya.
Wa Tabe datang menjenguknya siang itu. Kedatangan sahabatnya
itu membuatnya bertambah gusar.
“Itu, sedang menapis jagung di pondok!” Kata ibu Wa
Sule sambil menunjuk ke arah pondok kecilnya.
“Sule…oh Wa Sule…! Teriak Wa Tabe dari kejauhan.
“Kemarilah, Tabe…! Jawab Wa Sule dengan agak berteriak.
Jalan menanjak membuat Wa Tabe kelelahan saat sampai
di pondok kecil itu. Setelah mengambil beberapa tarikan napas dan menghembuskannya,
dia pun mulai membantu sahabatnya itu untuk melepaskan setiap butir jagung dari
tongkolnya.
“Apakah rencana kita besok jadi?” Tanya Wa Tabe.
“Rencana apa?”
“Masa kamu bisa lupa?”
“Bisa saja kan aku lupa.”
“Kok, menjawabnya malas begitu?”
“Ingatkanlah supaya aku menjawabnya dengan semangat.”
“Bukankah kamu yang membuat rencana itu?”
“Ih…rencana apakah?”
“Kita mau lebaran di pusat kampung kan?”
“Kalian sajalah yang ke sana.”
“Memangnya kamu mau berlebaran di kebun yang sunyi
ini?”
“Aku akan ke pusat kampung saat hari lebaran saja.”
“Kok, jadi berubah pikiran?”
“Aku tidak berubah pikiran. Aku tetap berlebaran di
sana hanya ke sananya nanti hari lebaran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar