Senin, 01 Juli 2019

BULETIN SEVENTEEN : DONASI ALUMNI 89 SMPN 3 KENDARI KE TAPUWATU





SEHARI DI TAPUWATU
(Donasi Alumni 89 SMPN 3 Kendari ke Tapuwatu)  

Mentari pagi belum lama menyapa bumi, ketika rombongan Alumni 89 SMPN 3 Kendari meninggalkan tapal batas Kota Kendari di sisi Utara. Perjalanan kali ini bukan sekedar mengenang masa lalu, akan tetapi mengemban sebuah misi yang mulia. Pagi ini (30/6/2017) suhu berkisar 240 C dengan langit sedikit berawan di tempat kami berada saat itu.
Tujuan tim adalah ajangsana sosial kemanisuaan di Desa Tapuwatu. Sesaat diperjalanan rombongan berhenti  untuk menjemput Bapak Suryadi, S.Pd.,M.Pd selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe. Disamping sebagai salah satu Alumni, beliau juga mengenal medan yang akan ditempuh. Memang bukanlah pekerjaan mudah untuk bisa sampai ke tempat tersebut. Medan yang berat harus membutuhkan matalalang handal untuk menguasai wilayah yang akan dilalui.
Jalan yang berlubang dengan kubangan air ditemui semenjak meninggalkan jembatan Pohara. Penyebabnya adalah banjir yang terjadi di akhir Mei dan pertengahan Juni tahun ini. Luapan air itu telah merendam sebahagian besar Kabupaten Konawe sehingga menyebabkan fasilitas jalan menjadi rusak. Inilah yang diungkapkan Suryadi saat seorang tim bertanya saat itu.
Hari yang cerah tanpa curah hujan menjadikan perjalanan tidak seberat yang dibayangkan. Walapun mobil yang digunakan sempat kandas, namun landasan yang keras membuat putaran ban tetap normal berjalan. Beberapa jembatan darurat buatan warga tetap digunakan untuk bisa sampai di Desa Tapuwatu.
Marwiah selaku koordinator kegiatan kemanusiaan Alumni 89 SMPN 3 Puuwatu mengungkapkan  alasan pemilihan lokasi ajangsana sosial ini. Mereka itu jarang tersentuh karena jarak yang jauh dan akses jalan yang berat. Kebutuhan hidup yang mendesak dan harta benda yang tidak bisa diselamatkan menjadi pertimbangan yang utama. Itulah ungkapannya saat dimintai keterangan selama perjalanan.
Setelah melewati tebing dan jalan yang berbatu, rombongan akhirnya tiba di Depan SDN 10 Asera. Butuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai dipusat bencana. Tempat ini merupakan kawasan penampungan pengungsi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Beberapa tenda orange didirikan sebagai tempat sementara bagi 81 KK warga Desa Tapuwatu.
Sekertaris desa dan koordinator lapangan tanggap darurat menyambut kedatangan rombongan. Penyerahan bantuan dilakukan secara simbolis di depan tenda penampungan donasi. Marwia, Suryadi, Mustika dan Agustina menjadi perwakilan alumni. Beberapa kebutuhan pokok berupa pangan siap saji dan setengah jadi mendominasi barang yang diserahkan. Pakaian layak pakai, alas tidur dan perlengkapan bayi merupakan jenis barang tambahan yang ikut diserahkan. Mustika mengungkapkan, semua keperluan pengungsi ini merupakan seumbangan yang terkumpul selama dua pekan. Sumbernya berasal para alumni Angkatan 89 SMPN 3 Kendari. Baik yang berdomisili di Sulawesi Tenggara maupun diluar provinsi.
Sebenarnya keinginan kami, donasi barang kebutuhan ini akan diserahkan secara langsung pada korban bencana. Namun untuk lebih efektif dalam pembagiannya, pihak penanganan bencana Desa Tapuwatu memusatkan penampungannya. Hal tersebut diungkapkan Agustina, salah satu alumni yang turut dalam rombongan.
Suasana menjadi hening ketika beberapa warga yang menjadi korban menceritakan kejadian banjir bandang tersebut. Salah satunya Ibu Hasiina. Wanita paruh baya yang telah lama ditinggal suaminya yang meninggal dunia. Dia memulai kisahnya dengan suara yang pelan tentang perasaan yang dialaminya. Memboyong empat orang cucu bersama anaknya saat mengungsi bukan pekerjaan mudah. Resah dan ketakutan menyelimuti pikiran dan hatinya dalam berjuang mencapai dataran tinggi di saat hujan. Sebenarnya waktu banjir pertama saya belum hawatir, karena biasanya ditahun sebelumnya hanya sebatas lutut. Namun lama-lama airnya makin tinggi. Jadi kami semua memutuskan untuk mengungsi, katanya.
 Suwidno yang juga duduk di tenda pengungsian mengkapkan sisi lain dari bencana itu. Beliau berkata bahwa banjir saat itu bukan hanya sekali. Bahkan longsor terjadi ditempat pengungsian saat hujan masih mengguyur desa kami. Situasi yang membahayakan itu, akhirnya memaksa kami untuk berpindah ke tempat ini. Untung saja hujan yang lebat dan naiknya air Singai Lasolo terjadi pada siang hari. Jadi kami semua mudah dengan cepat mencari jalan ketempat yang lebih tinggi, lanjutnya.
Seorang warga yang enggan menyebutkan namanya, mengungkapkan mengapa desanya bisa dilanda banjir bandang. Lokasi desanya yang berada tepat antara pertemuan Sungai Lasolo dan Lalindu serta geografis wilayah pada pinggir sungai yang rendah menjadi penyebab utamanya. Air yang naik dengan cepat dan tiba-tiba menyebabkan semua warga tidak lagi memikirkan harta bendanya. Urusan nyawa dan keluarga menjadi hal yang utama waktu itu.
Pemantauan di kawasan bencana terlihat puing-puing beton, potongan kayu besar, tumpukan dedaunan yang menggunung serta hamparan pasir dan kerikil menghiasi lahan dalam skala luas dan rata. Hanya beberapa rumah dan sebuah masjid yang masih berdiri dengan kokoh. Sarana sekolah mengalami rusak berat. Tower air yang diberikan pada masyarakat sebanyak 30 buah hanya menyisahkan pecahan besar dan sebagian hilang terbawa banjir. Penampung air itu merupakan realisasi program dana desa tahun ini. Tapak jalan hanya berupa hambaran kerikil dengan bibir selokan yang masih terlihat jelas.
Saat mengitari reruntuhan rumah warga, ada sesorang wanita tua yang tengah mengais puing-puing tumpukan rongsokan. Perempuan itu bernama Zubaedah. Dia mencari beberapa benda yang masih bisa dipakai. Tangannya yang telah keriput berupaya mengangkat beberapa potong kayu yang menindih lantai rumahnya. Namun setelah beberapa lama, tidak satupun barang yang bisa diambilnya. Beberapa barang yang didapat telah diamankan pada tenda pengungsian.
Sambil berkelakar, beberapa pertanyaan terlontar pada anak-anak kecil yang asik bermain di halaman pengungsian. Rupanya sebagian mereka tidak lagi mau untuk kembali bersekolah. Sekolah rusak, bukuku hilang dibawa banjir dan tidak ada lagi baju sekolah yang bisa di pakai. Itulah keluh kesahnya dalam percakapan siang itu.
Entah, bagaimana mereka bisa menjalani hidup. Membangun rumah sudah tidak mungkin, jalan keluarnya bisa melalui program realokasi. Akankah kemungkinan itu bisa menjadi kenyataan? Masalah mereka memang telah berat. Makan hari ini belum tentu sama nikmatinya pada esok hari. Semua masih bergantung bantuan dan uluran tangan para dermawan. Semoga harapan baru bisa terwujud untuk membawa kehidupan baru bagi para pengungsi.
Jam tangan telah menunjukkan pukul 16.40 Wita, saat kami mulai bergerak meninggalkan lokasi bencana. Hujan rintik mulai turun dan langit mulai berawan tebal. Tentunya ini adalah keresahan bagi para pengungsi dan rombongan. Was-was akan datangnya banjir susulan tentu mengahantui pikiran para korban. Bagi rombongan, hujan merupakan tantangan dalam menempuh jalan pulang. Tumpahan air laingit itu akan menyebabkan jalan menjadi licin serta genangan air yang meninggi.
Setelah menempuh sekitar hampir empat jam, akhirnya rombongan tiba dengan selamat di Kota Kendari pada pukul 20.10 Wit. Semuanya lega, walaupun penuh dengan rintangan yang membuat jantung berdebar. Betapa tidak, berjalan malam dengan jalan yang licin, berlibang serta penerangan yang minim, membuat kendaraan tidak dapat bergerak dengan cepat. Segala amanah yang diberikan kawan-kawan Alumni 89 SMPN 3 Kendari kini telah ditunaikan. Semoga segala manfaat akan diperoleh oleh semua pihak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELAS BERCERITA DALAM TAMU SAGA

  Bukan Pelajaran Bahasa atau Seni. Ini tentang sains dalam mendorong numerasi dan literasi dilingkungan sekolah. Ketika rapor pendidikan me...