Rabu, 08 April 2020

BULETIN SEVENTEEN : CERITA INSPIRASIKU - Cahaya dari Ruang Kelas Bagian 1


MERAJUT BEKAL TERASI  PRAKARYA  DALAM LOMBA INOBEL GURU.

Mengajar dijaman new memang penuh tantangan yang berat. Apalagi guru seperti saya? Terlahir di era tujuh puluhan yang jarang mendengar bunyi pesawat. Mesin ketik yang sangat mutahir saat itu, kini hampir tidak berguna lagi. Telepon kabel, surat kabar dan radio mengalami nasib yang sama. Kini banyak manusia bekerja pada jaringan dalam genggaman. Sungguh saya telah berada di dunia yang berbeda.

Kecanggihan teknologi seiring dengan perkembangan pembelajaran. Issu sentral yang sering menggema adalah teknologi informasi, kearifan lokal, litereasi dan pendidikan keluarga. Semua kegiatannya erat kaitannya kodrat hidup manusia, sebab bergantung pada kebutuhan dan keadaan.

Saya memilih istilah “mahluk sosial” untuk mengungkapnya. Saya berpikir, hubungan antar manusia harus terus terjalin. Budaya pun jangan sampai tersingkirkan. Inilah tantangan saya dalam pembelajaran di sekolah.

Awalnya, cara berpikirnya sangat sederhana dan biasa saja. Tujuannya hanya ingin mengajarkan prakarya dengan cara yang berbeda. Mencoba menggunakan lingkungan di luar kelas sambil melibatkan kehidupan sosial para siswa. Namun hal itu, bukan tanpa masalah.

Beberapa kendala internal menjadi pertimbangan untuk menjawab tantangan itu. Tidak tersedianya ruang keterampilan, alat dan bahan praktik yang minim serta tuntutan kekinian pembelajaran merupakan tiga masalah yang mendasar. Kondisi itu sangat nyata di sekolah. Saya pun harus bekerja ekstra untuk menutupi kekurangan itu.

Saya hanya mengungkapkan sepintas sebuah keinginan. Bagaimana   mencari cara yang tepat? Menggabungkan pemanfaatan kearifan lokal dan teknologi informasi akhirnya menjadi solusi yang dipilih. Semua dikemas melalui media BEKAL TERASI. Dua kata itu merupakan akronim dari berkearifan lokal dan teknologi informasi. Penerapannya melibatkan kegiatan literasi dan keluarga. Strategi itulah yang mengantarkan rahmat Illahi ke panggung lomba inovasi pembelajaran bagi guru SMP tingkat nasional tahun 2018. Usaha yang saya anggap sederhana ini membawa berkah yang tidak terduga. Allah SWT menetapkan saya sebagai juara pertama melalui penilaian dewan juri.

Bagaimana merajut pemanfaatan teknologi, kearifan lokal, literasi dan keluarga dalam pembelajaran? Pertanyaan ini bisa terurai menjadi beberapa rumusan masalah. Apa jenis teknologi informasi yang dimanfaatkan? Bagaimana memasukan kearifan lokal dalam pembelajaran? Mengapa literasi menjadi langkah penting menilai keterampilan? Mengapa keluarga harus terlibat dalam kegiatan siswa?

Saya mengarahkan penelitian pada aspek keterampilan siswa. Walaupun dalam pembelajaran, aspek pengetahuan tetap dilakukan penilaian. Fokus pengamatannya pada kegiatan unjuk kerja, produk dan proyek. Memulainya dari rumah sendiri.

Kerajinan khas, motif daerah, perabot hias berenergi listrik hingga olahan makanan menjadi bahan untuk menggali permasalahan dalam balajar. Satu jenis produk yang dibawa siswa, ruang kelas pun bisa menjadi pajangan display produk yang meriah. Mungkin saja ini biasa, namun ada hal tidak biasa saat pembelajaran berlangsung.

Sarapan pagi bersama digagas saat memasuki aspek pengolahan. Makanannya bertajuk “menu cinta di keluarga.” Setiap olahan merupakan kerja siswa dan orang tuanya. Banyak kisah yang terungkap dari testimoni saat bersama anaknya. Ini catatan penting bagi pembelajaran berikutnya. Bukan hanya produknya, tetapi ulasan singkat para ibu maupun bapak menjadi lembaran berharga. Fokus permasalahan pembelajaran akan menjadi mudah.

Minimnya waktu pembelajaran di kelas menjadi penyebab utama memanfaatkan teknologi. Ada komunitas kelas dalam WhatsAap. Ini bimbingan di luar kelas melalui diskusi virtual. Penggunaan handphone bagi siswa tidak bisa terelakkan. Saya hanya membantu untuk memanfaatkannya secara bijak. Hal itu berdasarkan hasil survei awal pembelajaran. Berbagai sumber belajar bisa di peroleh dari genggaman. Sebahagian bisa dilakukan melalui belajar mandiri.

Tidak hanya sebatas literasi digital. Ponsel dapat pula digunakan untuk membuat rancangan desain produk maupun promosi. Teknik dasar edit gambar serta disain pemasaran bisa dilakukan melalui program Picart. Memanfaatkan media sosial dalam berwirausaha juga dilakukan. Ini kegiatan terbimbing, jadi semua ada aturan yang disepakati. Jejaring sosial ini mengundang guru, orang tua, keluarga dan masyarakat sekitar siswa untuk berperan serta. Mereka dapat bertindak sebagai pengawas di dunia maya. Grup ini bernama Prase Suhardin Shop.

Mengetik laporan singkat maupun menjawab pertanyaan angket bisa dilakukan melalui handphone. Inilah cara yang diajarkan untuk melakukan hal praktis namun tetap efektif. Beberapa program bawaan windows maupun internet harus dipelajari. Untuk diketahui, kegiatan ini diterapkan pada siswa kelas IX.

Terdapat proyek wirausaha internal. Kegiatan penjulan produk dalam lingkungan sekolah dilakukan. “Buka lapak” istilahnya. Sebagian pemesanan melalui kegiatan on line. Hal kecil ini telah menuntun siswa untuk belajar menata laporan keuangan. Mereka dapat mempelajari excel dalam menghitung laba ataupun rugi. Berdagang berarti mengejar untung. Mereka harus berkompetisi secara sehat. Beberapa produk memiliki keunikan. Ada yang berkesempatan untuk mengikuti pameran besar.

Banyak kolaborasi yang terjadi. Bukan hanya antar manusia, tetapi juga berkaitan dengan alam. Tidak sebatas kerajinan bermotif lokal dan miniatur rumah adat berinstalasi listrik. Beberapa makanan khas daerah mulai dikenalkan kembali. Ayam tawoloho dan perende dibuat sendiri oleh siswa. Ada yang telah mengaploudnya melalui youtube.

Setiap orang memiliki kisah. Inilah yang dirajut dalam komunitas menulis siswa. Walaupun setiap angkatan memiliki istilah sendiri, namun saya menyebutnya Komunits Menulis Seventeen. Sebenarnya nama itu muncul semenjak buletin sekolah digagas. Media itu mengambil nama maupun pembina kegiatan yang sama. Pembimbingannya sarat dengan pemanfaatan teknologi.

Kini telah melewati tiga generasi. Lima buah buku antologi telah diterbitkan. Cara menulis siswa semakin berubah. Maklumlah, saya bukan guru Bahasa Indonesia. Kadang kala harus bertanya keorang berlimu, baru bisa menjawab pertanyaan mereka. Saya menempuh cara itu sambil belajar menulis.

Bukunya menjadi dagangan. Tidak sedikit uang yang dihasilkan. Banyak yang bisa dilakukan. Mereka dapat membiayai praktek selanjutnya dari keuntungan penjualan. Baju kaos untuk kelas pun menjadi lebih ringan untuk dibeli.

Warga kota memiliki kesibukan yang tinggi. Itulah mengapa keluarga diajak dalam pembelajaran. Berpartisipasi dalam kebersamaan. Menjadi pengawas serta penilai. Walapun caranya harus melalui anaknya sendiri. Saya hanya menyiapkan lembar observasinya. Tanggapan negative memang ada, namun sikap positifnya jauh lebih banyak. Pada akhirnya semunya bisa memakluminya. “Belajar itu harus sesuai jamannya,” itulah kesimpulannya.

Inilah cara yang saya tempuh dalam mengejar berkah. Walaupun kadang tersandung jaman. Tetapi belajar bukan hanya pada yang lebih dewasa. Saya tetap membuka diri, karena masa kini merupakan dunia mereka. saya hanya berlari kecil agar tidak jauh tertinggal. Berupaya agar pesan panca indra bisa tersampaikan. Menjaga agar kompas dan peta dapat berfungsi.

Saya hanya berusaha menjadi pengamat setia, selebihnya mereka yang menjalankannya. Walaupun menurut orang, itu kecil dan sederhana. Saya hanya ingin menuntun mereka, kearah jalan yang bercahaya.


Kendari, 27 Februari 2020
Suhardin (Guru SMPN 17 Kendari) – Sulawesi Tenggara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELAS BERCERITA DALAM TAMU SAGA

  Bukan Pelajaran Bahasa atau Seni. Ini tentang sains dalam mendorong numerasi dan literasi dilingkungan sekolah. Ketika rapor pendidikan me...