MERAJUT
BEKAL TERASI PRAKARYA DALAM LOMBA INOBEL GURU.
Mengajar
dijaman new memang penuh tantangan
yang berat. Apalagi guru seperti saya? Terlahir di era tujuh puluhan yang
jarang mendengar bunyi pesawat. Mesin ketik yang sangat mutahir saat itu, kini hampir
tidak berguna lagi. Telepon kabel, surat kabar dan radio mengalami nasib yang
sama. Kini banyak manusia bekerja pada jaringan dalam genggaman. Sungguh saya
telah berada di dunia yang berbeda.
Kecanggihan
teknologi seiring dengan perkembangan pembelajaran. Issu sentral yang sering
menggema adalah teknologi informasi, kearifan lokal, litereasi dan pendidikan
keluarga. Semua kegiatannya erat kaitannya kodrat hidup manusia, sebab
bergantung pada kebutuhan dan keadaan.
Saya
memilih istilah “mahluk sosial” untuk mengungkapnya. Saya berpikir, hubungan
antar manusia harus terus terjalin. Budaya pun jangan sampai tersingkirkan. Inilah
tantangan saya dalam pembelajaran di sekolah.
Awalnya,
cara berpikirnya sangat sederhana dan biasa saja. Tujuannya hanya ingin mengajarkan
prakarya dengan cara yang berbeda. Mencoba menggunakan lingkungan di luar kelas
sambil melibatkan kehidupan sosial para siswa. Namun hal itu, bukan tanpa
masalah.
Beberapa
kendala internal menjadi pertimbangan untuk menjawab tantangan itu. Tidak
tersedianya ruang keterampilan, alat dan bahan praktik yang minim serta
tuntutan kekinian pembelajaran merupakan tiga masalah yang mendasar. Kondisi
itu sangat nyata di sekolah. Saya pun harus bekerja ekstra untuk menutupi
kekurangan itu.
Saya
hanya mengungkapkan sepintas sebuah keinginan. Bagaimana mencari cara yang tepat? Menggabungkan
pemanfaatan kearifan lokal dan teknologi informasi akhirnya menjadi solusi yang
dipilih. Semua dikemas melalui media BEKAL TERASI. Dua kata itu merupakan akronim
dari berkearifan lokal dan teknologi informasi. Penerapannya melibatkan
kegiatan literasi dan keluarga. Strategi itulah yang mengantarkan rahmat Illahi
ke panggung lomba inovasi pembelajaran bagi guru SMP tingkat nasional tahun
2018. Usaha yang saya anggap sederhana ini membawa berkah yang tidak terduga.
Allah SWT menetapkan saya sebagai juara pertama melalui penilaian dewan juri.
Bagaimana
merajut pemanfaatan teknologi, kearifan lokal, literasi dan keluarga dalam
pembelajaran? Pertanyaan ini bisa terurai menjadi beberapa rumusan masalah. Apa
jenis teknologi informasi yang dimanfaatkan? Bagaimana memasukan kearifan lokal
dalam pembelajaran? Mengapa literasi menjadi langkah penting menilai
keterampilan? Mengapa keluarga harus terlibat dalam kegiatan siswa?
Saya
mengarahkan penelitian pada aspek keterampilan siswa. Walaupun dalam
pembelajaran, aspek pengetahuan tetap dilakukan penilaian. Fokus pengamatannya
pada kegiatan unjuk kerja, produk dan proyek. Memulainya dari rumah sendiri.
Kerajinan
khas, motif daerah, perabot hias berenergi listrik hingga olahan makanan
menjadi bahan untuk menggali permasalahan dalam balajar. Satu jenis produk yang
dibawa siswa, ruang kelas pun bisa menjadi pajangan display produk yang meriah.
Mungkin saja ini biasa, namun ada hal tidak biasa saat pembelajaran
berlangsung.
Sarapan
pagi bersama digagas saat memasuki aspek pengolahan. Makanannya bertajuk “menu
cinta di keluarga.” Setiap olahan merupakan kerja siswa dan orang tuanya.
Banyak kisah yang terungkap dari testimoni saat bersama anaknya. Ini catatan
penting bagi pembelajaran berikutnya. Bukan hanya produknya, tetapi ulasan
singkat para ibu maupun bapak menjadi lembaran berharga. Fokus permasalahan
pembelajaran akan menjadi mudah.
Minimnya
waktu pembelajaran di kelas menjadi penyebab utama memanfaatkan teknologi. Ada
komunitas kelas dalam WhatsAap. Ini
bimbingan di luar kelas melalui diskusi virtual.
Penggunaan handphone bagi siswa tidak bisa terelakkan. Saya hanya membantu
untuk memanfaatkannya secara bijak. Hal itu berdasarkan hasil survei awal
pembelajaran. Berbagai sumber belajar bisa di peroleh dari genggaman. Sebahagian
bisa dilakukan melalui belajar mandiri.
Tidak
hanya sebatas literasi digital. Ponsel dapat pula digunakan untuk membuat
rancangan desain produk maupun promosi. Teknik dasar edit gambar serta disain
pemasaran bisa dilakukan melalui program Picart. Memanfaatkan media sosial
dalam berwirausaha juga dilakukan. Ini kegiatan terbimbing, jadi semua ada
aturan yang disepakati. Jejaring sosial ini mengundang guru, orang tua,
keluarga dan masyarakat sekitar siswa untuk berperan serta. Mereka dapat
bertindak sebagai pengawas di dunia maya. Grup ini bernama Prase Suhardin Shop.
Mengetik
laporan singkat maupun menjawab pertanyaan angket bisa dilakukan melalui handphone. Inilah cara yang diajarkan
untuk melakukan hal praktis namun tetap efektif. Beberapa program bawaan windows maupun internet harus
dipelajari. Untuk diketahui, kegiatan ini diterapkan pada siswa kelas IX.
Terdapat
proyek wirausaha internal. Kegiatan penjulan produk dalam lingkungan sekolah
dilakukan. “Buka lapak” istilahnya. Sebagian pemesanan melalui kegiatan on line. Hal kecil ini telah menuntun
siswa untuk belajar menata laporan keuangan. Mereka dapat mempelajari excel dalam menghitung laba ataupun
rugi. Berdagang berarti mengejar untung. Mereka harus berkompetisi secara
sehat. Beberapa produk memiliki keunikan. Ada yang berkesempatan untuk
mengikuti pameran besar.
Banyak
kolaborasi yang terjadi. Bukan hanya antar manusia, tetapi juga berkaitan
dengan alam. Tidak sebatas kerajinan bermotif lokal dan miniatur rumah adat
berinstalasi listrik. Beberapa makanan khas daerah mulai dikenalkan kembali.
Ayam tawoloho dan perende dibuat sendiri oleh siswa. Ada yang telah mengaploudnya melalui youtube.
Setiap
orang memiliki kisah. Inilah yang dirajut dalam komunitas menulis siswa.
Walaupun setiap angkatan memiliki istilah sendiri, namun saya menyebutnya
Komunits Menulis Seventeen. Sebenarnya nama itu muncul semenjak buletin sekolah
digagas. Media itu mengambil nama maupun pembina kegiatan yang sama.
Pembimbingannya sarat dengan pemanfaatan teknologi.
Kini
telah melewati tiga generasi. Lima buah buku antologi telah diterbitkan. Cara
menulis siswa semakin berubah. Maklumlah, saya bukan guru Bahasa Indonesia.
Kadang kala harus bertanya keorang berlimu, baru bisa menjawab pertanyaan
mereka. Saya menempuh cara itu sambil belajar menulis.
Bukunya
menjadi dagangan. Tidak sedikit uang yang dihasilkan. Banyak yang bisa
dilakukan. Mereka dapat membiayai praktek selanjutnya dari keuntungan
penjualan. Baju kaos untuk kelas pun menjadi lebih ringan untuk dibeli.
Warga
kota memiliki kesibukan yang tinggi. Itulah mengapa keluarga diajak dalam
pembelajaran. Berpartisipasi dalam kebersamaan. Menjadi pengawas serta penilai.
Walapun caranya harus melalui anaknya sendiri. Saya hanya menyiapkan lembar
observasinya. Tanggapan negative memang ada, namun sikap positifnya jauh lebih
banyak. Pada akhirnya semunya bisa memakluminya. “Belajar itu harus sesuai
jamannya,” itulah kesimpulannya.
Inilah
cara yang saya tempuh dalam mengejar berkah. Walaupun kadang tersandung jaman.
Tetapi belajar bukan hanya pada yang lebih dewasa. Saya tetap membuka diri,
karena masa kini merupakan dunia mereka. saya hanya berlari kecil agar tidak
jauh tertinggal. Berupaya agar pesan panca indra bisa tersampaikan. Menjaga
agar kompas dan peta dapat berfungsi.
Saya
hanya berusaha menjadi pengamat setia, selebihnya mereka yang menjalankannya. Walaupun
menurut orang, itu kecil dan sederhana. Saya hanya ingin menuntun mereka,
kearah jalan yang bercahaya.
Kendari, 27 Februari
2020
Suhardin (Guru SMPN
17 Kendari) – Sulawesi Tenggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar