SEPENGGAL
KISAH DI NEGERI TIRAI BAMBU
“Tuntutlah
ilmu hingga ke negeri China.” Ungkapan itu, kini aku merasakannya. Berangkat
bersama para guru hebat Indonesia sebagai tamu negera selama tiga minggu.
Inilah pengalaman perdanaku berkunjung ke luar negeri. Pembekalan yang
dilakukan oleh pemerintah terasa kurang, akibat pengalamanku yang dangkal.
Walaupun paparan narasumber sangat meyakinkan, namun selalu masih banyak hal
yang terasa kurang. Namun ini, kesempatan emas. Itulah ungkapan yang selalu
menyemangati diri. Apalagi perjalanan ini tidak dilakukan seorang diri.
Naik
pesawat Singapore Airline menjadi
pengalaman pertamanya. Ini tidak seperti yang digunakan dalam perjalanan
Kendari-Jakarta. Berbadan besar, pelayanan kelas luar negeri serta pramugarinya
tidak lagi menggunakan Bahasa Indonesia. Transit di Bandara Changi membuat
jejak kaki dapat berbekas di tanah Singapura. Hampir 8 jam akhirnya pesawat
mendarat dengan selamat di Ibu Kota Negara China. Tempat yang selalu dijuluki
sebagai Negara Tirai Bambu.
Menjemput
mentari di Kota Bejing tidak terwujud. Suhu yang sangat dingin dengan langit
berkabut tebal, menyebabkan matahari enggan menampakkan dirinya. Seperti halnya
Singapura, aku baru menginjakkan kaki di negeri ini selama hidup. Rombongan
kali ini akan mengikuti Trainning bagi Excellent
Teachers. Kami ditempatkan di China
University Mining and Technology. Kampus itu terletak di Kota Jiangsu.
Jarak
Kota Bejing dan Jiangsu sangat jauh. Kami tidak menggunakan lagi transportasi
udara. Ini hal menakjubkan kedua saat itu. Rombongan menggunakan sejenis kereta
cepat. Kendaraan canggih yang bisa mencapai kecepatan 450 km/jam. Hari itu, aku
membuktikannya. Memang nyaris tidak mengalami goncangan berarti. Kereta seperti
ini belum ada di Indonesia saat itu.
Banyak
hal yang dilakukan disana. Mulai dari kuliah, kunjungan ke sekolah-sekolah
berteknologi tinggi, melihat koleksi di museum teknologi Ibu Negara. menelaah
pembelajaran dan kurikulum yang dipakai, studi ekowisata, studi budaya hingga
melihat pembelajaran STEM. Memang sangat melelahkan namun banyak pelajaran yang
bisa diambil. Walaupun tidak semua bisa diterapkan. Faktor kultur budaya,
ideologi dan teknologi menjadi penyebabnya.
Penggunaan
bahasa menjadi kendala yang besar. Bahasa cina menjadi alat berkomunikasi resmi
dalam negara. Tidak banyak yang bisa menggunakan Bahasa Inggris. Untung saja
aplikasi pada handphone bisa
mengatasinya. Ke toko atau keluar asrama harus mematikan baterei handphone terisi penuh. Seperti nyawa
kedua setelah diri. Itulah mengapa satu sama lain selalu saling mengingatkan.
Kadang
ada berita cuaca luar negeri yang menayangkan suhu hampir atau di bawah nol.
Saat itu, suasana itu aku rasakan. Tiga lapis baju masih terasa kurang untuk
menghangatkan badan. Ibu jari saja kadang susah menggenggam. Namun anehnya,
salju yang dinanti tidak juga turun. Menurut mereka, polusi yang tinggi menjadi
penyebabnya. Selama belajar di sana, hanya dua kali menemukan hujan. Airnya
sangat dingin dan angin yang bertiup hingga ke sum-sum. Itulah mengapa baju
hangat menjadi senjata penghalau hawa ekstrim itu.
Minggu
ke tiga merupakan waktu akhir kegiatan. Inilah hari-hari yang susah terlupakan.
Saat itu peralihan musim dingin ke semi. Bunga-bunga mulai bermekaran. Suasana
kota menjadi indah terlihat. Sungguh pemandangan yang jarang dilihat secara
langsung. Batang tanaman hanya mengeluarkan bunga yang nyaris tak berdaun.
Perjalanan
pulang juga berkesan. Rombongan menuju kembali Kota Beijing dengan kereta yang
sama. Namun bukan persoalan keretanya, tetapi kunjungan istimewanya. Kalian
pasti tahu bukan, keajaiban dunia yang ada di China? Semua diberi kesempatan
mendakinya dan berfoto bersama. Tembok itu sangat luas dan panjang. “Memang
wajar kalau ini sebuah kejaiban yang diberikan Sang Pencipta pada kemampuan manusia.”
Itulah yang aku pikirkan dalam hati.
Berkeliling
ibu kota negara memang melelahkan. Lapangan Tiananmen dan Istana Terlarang
menjadi destinasi berikutnya. Bangunan yang luas, hanya kurang seperempatnya
saja yang bisa ditelusuri. Hal itu dilakukan agar rumah produk batu giok dapat
dikunjungi. Namun aku memang tidak berniat membelinya. Batu alami yang telah
berukir dalam perhiasan itu, sangat mahal harganya. Banyak yang hanya mampu
berdetak kagum. Begitu tingginya kemampuan manusia dalam mengolah batu berharga
itu. Rombongan juga sempat mengunjungi Stadion Olahraga Sarang Burung.
Hal
yang tersulit disana adalah mencari kuliner halal dan tempat ibadah kaum
Muslim. Dihari jumat, harus melalui Sembilan stasiun pemberhentian bus untuk
bisa sampai di masjid terdekat. Begitu pula dengan warung muslim. Untung saja
pihak panitia tahu tempat-tempat yang dimaksud. Saat berjalan menuju bandara,
kami bertemu dengan guru-guru dari Negara Malaysia. Mereka juga singgah untuk
makan malam ditempat itu.
Semua
terlihat lelah saat masuk dalam pesawat. Penerbangan menuju Jakarta diisi
dengan tidur yang nyenyak. Masih tersisa dua hari lagi untuk bisa kembali ke kampung
halaman. Semua peserta harus menyetorkan laporan perjalanannya. Untung saja
saat di China, sedikit demi sedikit sudah dikerjakan. Waktu senggang yang
tersisa bisa digunakan untuk mencari buah tangan bagi sanak saudara.
Syukur
dipanjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, setelah memasuki rumah. Baru kali ini
mengikuti pelatihan selama sebulan dan tempatnya sangat jauh. Anugerah itu
berlimpah di bulan Februari hingga Maret tahun 2019. Inilah rezeki yang tidak
dapat ditakar dengan uang. Negara memberikan kepercayaan padaku untuk
mengikutinya. Sebuah penghargaan yang jarang diperoleh. Inilah perjalanan
perdana seorang guru SMPN 17 Kendari ke luar negeri dengan tugas dinas dari
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar