Rabu, 08 April 2020

BULETIN SEVENTEEN : CERITA INSPIRASIKU - Menuntut Ilmu di Negeri Orang



SEPENGGAL KISAH DI NEGERI TIRAI BAMBU

“Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China.” Ungkapan itu, kini aku merasakannya. Berangkat bersama para guru hebat Indonesia sebagai tamu negera selama tiga minggu. Inilah pengalaman perdanaku berkunjung ke luar negeri. Pembekalan yang dilakukan oleh pemerintah terasa kurang, akibat pengalamanku yang dangkal. Walaupun paparan narasumber sangat meyakinkan, namun selalu masih banyak hal yang terasa kurang. Namun ini, kesempatan emas. Itulah ungkapan yang selalu menyemangati diri. Apalagi perjalanan ini tidak dilakukan seorang diri.

Naik pesawat Singapore Airline menjadi pengalaman pertamanya. Ini tidak seperti yang digunakan dalam perjalanan Kendari-Jakarta. Berbadan besar, pelayanan kelas luar negeri serta pramugarinya tidak lagi menggunakan Bahasa Indonesia. Transit di Bandara Changi membuat jejak kaki dapat berbekas di tanah Singapura. Hampir 8 jam akhirnya pesawat mendarat dengan selamat di Ibu Kota Negara China. Tempat yang selalu dijuluki sebagai Negara Tirai Bambu.

Menjemput mentari di Kota Bejing tidak terwujud. Suhu yang sangat dingin dengan langit berkabut tebal, menyebabkan matahari enggan menampakkan dirinya. Seperti halnya Singapura, aku baru menginjakkan kaki di negeri ini selama hidup. Rombongan kali ini akan mengikuti Trainning bagi Excellent Teachers. Kami ditempatkan di China University Mining and Technology. Kampus itu terletak di Kota Jiangsu.

Jarak Kota Bejing dan Jiangsu sangat jauh. Kami tidak menggunakan lagi transportasi udara. Ini hal menakjubkan kedua saat itu. Rombongan menggunakan sejenis kereta cepat. Kendaraan canggih yang bisa mencapai kecepatan 450 km/jam. Hari itu, aku membuktikannya. Memang nyaris tidak mengalami goncangan berarti. Kereta seperti ini belum ada di Indonesia saat itu.

Banyak hal yang dilakukan disana. Mulai dari kuliah, kunjungan ke sekolah-sekolah berteknologi tinggi, melihat koleksi di museum teknologi Ibu Negara. menelaah pembelajaran dan kurikulum yang dipakai, studi ekowisata, studi budaya hingga melihat pembelajaran STEM. Memang sangat melelahkan namun banyak pelajaran yang bisa diambil. Walaupun tidak semua bisa diterapkan. Faktor kultur budaya, ideologi dan teknologi menjadi penyebabnya.

Penggunaan bahasa menjadi kendala yang besar. Bahasa cina menjadi alat berkomunikasi resmi dalam negara. Tidak banyak yang bisa menggunakan Bahasa Inggris. Untung saja aplikasi pada handphone bisa mengatasinya. Ke toko atau keluar asrama harus mematikan baterei handphone terisi penuh. Seperti nyawa kedua setelah diri. Itulah mengapa satu sama lain selalu saling mengingatkan.

Kadang ada berita cuaca luar negeri yang menayangkan suhu hampir atau di bawah nol. Saat itu, suasana itu aku rasakan. Tiga lapis baju masih terasa kurang untuk menghangatkan badan. Ibu jari saja kadang susah menggenggam. Namun anehnya, salju yang dinanti tidak juga turun. Menurut mereka, polusi yang tinggi menjadi penyebabnya. Selama belajar di sana, hanya dua kali menemukan hujan. Airnya sangat dingin dan angin yang bertiup hingga ke sum-sum. Itulah mengapa baju hangat menjadi senjata penghalau hawa ekstrim itu.

Minggu ke tiga merupakan waktu akhir kegiatan. Inilah hari-hari yang susah terlupakan. Saat itu peralihan musim dingin ke semi. Bunga-bunga mulai bermekaran. Suasana kota menjadi indah terlihat. Sungguh pemandangan yang jarang dilihat secara langsung. Batang tanaman hanya mengeluarkan bunga yang nyaris tak berdaun.

Perjalanan pulang juga berkesan. Rombongan menuju kembali Kota Beijing dengan kereta yang sama. Namun bukan persoalan keretanya, tetapi kunjungan istimewanya. Kalian pasti tahu bukan, keajaiban dunia yang ada di China? Semua diberi kesempatan mendakinya dan berfoto bersama. Tembok itu sangat luas dan panjang. “Memang wajar kalau ini sebuah kejaiban yang diberikan Sang Pencipta pada kemampuan manusia.” Itulah yang aku pikirkan dalam hati.

Berkeliling ibu kota negara memang melelahkan. Lapangan Tiananmen dan Istana Terlarang menjadi destinasi berikutnya. Bangunan yang luas, hanya kurang seperempatnya saja yang bisa ditelusuri. Hal itu dilakukan agar rumah produk batu giok dapat dikunjungi. Namun aku memang tidak berniat membelinya. Batu alami yang telah berukir dalam perhiasan itu, sangat mahal harganya. Banyak yang hanya mampu berdetak kagum. Begitu tingginya kemampuan manusia dalam mengolah batu berharga itu. Rombongan juga sempat mengunjungi Stadion Olahraga Sarang Burung.

Hal yang tersulit disana adalah mencari kuliner halal dan tempat ibadah kaum Muslim. Dihari jumat, harus melalui Sembilan stasiun pemberhentian bus untuk bisa sampai di masjid terdekat. Begitu pula dengan warung muslim. Untung saja pihak panitia tahu tempat-tempat yang dimaksud. Saat berjalan menuju bandara, kami bertemu dengan guru-guru dari Negara Malaysia. Mereka juga singgah untuk makan malam ditempat itu.

Semua terlihat lelah saat masuk dalam pesawat. Penerbangan menuju Jakarta diisi dengan tidur yang nyenyak. Masih tersisa dua hari lagi untuk bisa kembali ke kampung halaman. Semua peserta harus menyetorkan laporan perjalanannya. Untung saja saat di China, sedikit demi sedikit sudah dikerjakan. Waktu senggang yang tersisa bisa digunakan untuk mencari buah tangan bagi sanak saudara.

Syukur dipanjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, setelah memasuki rumah. Baru kali ini mengikuti pelatihan selama sebulan dan tempatnya sangat jauh. Anugerah itu berlimpah di bulan Februari hingga Maret tahun 2019. Inilah rezeki yang tidak dapat ditakar dengan uang. Negara memberikan kepercayaan padaku untuk mengikutinya. Sebuah penghargaan yang jarang diperoleh. Inilah perjalanan perdana seorang guru SMPN 17 Kendari ke luar negeri dengan tugas dinas dari negara.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELAS BERCERITA DALAM TAMU SAGA

  Bukan Pelajaran Bahasa atau Seni. Ini tentang sains dalam mendorong numerasi dan literasi dilingkungan sekolah. Ketika rapor pendidikan me...