Hujan
masih deras, beberapa kali cahaya kilat melintas sesar dilangit hitam. Walaupun
basah, Pak Reno masih duduk dipelepah kelapa. Dentuman riak ombak menemaninya.
Sesekali matanya menatap jauh dikakilangit. Terlihat kekecewaan dari raut
wajahnya. Tanpa senyuman dan ujung keningnya sedikit berkerut.
Tiba-tiba
kepalanya menegadah. Sebuah payung datang menaunginya.
“Reno…pulanglah.
Kamu bisa kedinginan.” Kata Yuni.
Dia hanya meraih tas lusuhnya lalu menyerahkan
pada kekasihnya itu.
“Ayolah
Ren!”
Ajakan
Yuni akhirnya dituruti. Tangannya gemetar saat berupaya meraih tangan tambatan
hatinya.
“Aku
dingin Yun.”
“Nah…ayo
cepatlah, sebelum kamu membeku.”
Langkah
kedua insan muda itu makin cepat. Sesekali mereka harus berhenti. Pak Reno
susah mengatur langkahnya.
“Berpeganglah
Ren.”
“Apakah
kamu kuat memapahku?”
“Kenapa
sih kamu selalu ragu.”
Baru
beberapa langkah…
“Nah,
apa ku bilang.”
“Tidak
apa-apa Ren, asal kamu mau pulang….tak apalah.”
“Kamu
tidak apa-apa?”
“Hanya
basah kok.”
Setelah
meneguk teh panas, Pak Reno mulai membuka tas lusuhnya. Beberapa berkas
dikeluarkan dengan hati-hati. Kertas yang basah bukan hanya akibat siraman
hujan. Tanpa sengaja bulir air matanya jatuh. Kejadian itu berulang terus.
Kesedihannya tidak tertahan saat melepaskan rekatan setiap lembar kertas itu.
“Ren…sabar
ya.”
Guru
muda itu hanya menggangguk.
“Jika
aku yang rasakan, rasanya tidak kuat.” Sambung Yuni.
“Entalah
apa yang merasuki pikiran mereka.”
“Sudalah,
jangan diperpanjang lagi.”
“Tapi
Yun…aku harus cerita.”
“Memangnya
kenapa Ren?”
“Coba
kamu lihat surat ini.”
Setelah
membacanya, Yuni pun menatap kekasihnya itu.
“Sabarlah,
Allah tidak tidur. Banyak harapan yang masih bisa kamu gapai.”
“Tapi…”
“Ren…banyaklah
bersyukur.”
“Yun…”
“Sudalah,
ikhlaskan lalu bersujudlah.”
“Pekerjaan
manusia itu, Tuhan yang mengaturnya.”
Setelah
menarik napas panjang, guru muda itu bangkit. Lama dia menatap wajah yang
selalu dirindukan itu.
“Nah….begitu
dong. Senyumanmu itu yang ku suka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar