Apakah
ada hubungannya mesin dan sandal? Ini kisah yang memilukan hati tentang kedua
barang tersebut. Rupanya memiliki kaitan yang sangat erat. Cerita ini dimulai
saat Mertuaku memiliki masalah di sore itu.
“Nak,
tolong lihatkan mesin air.” Kata Oma di depan pintu samping.
“Memangnya
kenapa mesinya, Oma?” Kataku.
“Tidak
tau nak. Jika di cuk, bunyi. Namun air tidak keluar dari kran.”
Sifat
sok pintarku muncul lagi. Aku pun bergegas menuju mesin pompa air yang berada
di samping rumah mertuaku. Mengamati kabel
dan melihat mengecek setiap bagian mesin. Namun tidak satupun alibi yang
mengarah pada kerusakannya. Setelah beberapa kali dicoba namun selalu gagal.
Itu pertanda waktunya untuk mengatakan menyerah.
“Mesin
ini sudah rusak, Oma. Diganti saja.”
“Tapi
mesinnya belum lama dibeli. Kok bisa rusak?”
“Iyalah
Oma. Bisa saja.”
“Tunggu
dulu, coba hubungi adik iparmu. Dia sangat paham dengan ini.”
“Oh
iya, Oma.”
Akupun
mengambil telepon genggam dan mengutarakan masalahnya. Beberapa saat kemudian,
dia pun datang dengan peralatannya. Boleh dibilang ahli mesin karena kuliahnya
dijurusan tehnik.
“Wah,
ini mesinnya kotor. Semutlah penyebabnya.” Katanya.
“Kok
bisa?” Kataku.
“Coba
lihat! Tanah sarang semut ini hingga masuk dalam kipasnya.”
“Jadi
solusinya bagaimana?”
“Angkat
dari tempatnya dan bongkar.”
Membuka
dari tempatnya bukan tanpa masalah. Butuh sambungan pipa yang beragam. Setelah menghitungnya, aku pun
bergegas menarik motor bututku. Waktu yang menjelang sore menyebabkan semua
berpacu dengan waktu. Bukan hanya persoalan hampir gelap, waktu tutup toko
bangunan sudah makin dekat.
Bukan
hanya satu toko yang dikunjungi. Sambungan pipa ke mesin menjadi kendala. Barang
itu bukan hal biasa yang aku lihat. Bertanya dan memperlihatkan contohnya
adalah jalan terbaik untuk menghemat waktu. Gelisah dan panik menjadi gambaran
hati pada saat itu. Terlambat berarti air tidak akan mengalir.
Jalan
makin cepat dalam toko. Kadang kala hampir saja menabrak orang lain yang sedang
berbelanja. Setelah ke kasir akupun bisa memabawa pulang barang yang
dibutuhkan. Namun aku merasa kaget bukan kepalang. Perkataan istriku membuatku
tersadar. Ada hal yang tidak wajar pada diriku.
“Waduh,
siapa yang pakai sandal yang berbeda warna?” Katanya.
Akupun
langsung melihat kearah bawah.
“Astagfirullah.”
Teriakku.
“Kenapa?”
Kata Istriku.
“Pantas
saja banyak orang yang melihatku lalu tersenyum tadi.”
“Yang
melihatmu, lelaki atau perempuan?”
“Kedua-duanya.
Tapi yang banyak para ibu-ibu.”
“Mungkin
saja kamu yang genit.”
“Waduh,
bukan itu Yang.”
“Lantas?”
“Sendalku
ini masalahnya.”
“Hi,
bapak ini. Bagaiman sih. Bikin malu.”
“Baju
kotor, sandal pagi sore, rambut acak-acakan serta bau badan yang menyengat.
Wah, lengkap sudah kesimpulan mereka. Semoga prasangkanya terbantahkan dengan
balasan senyumanku”
“Maksudnya?”
“Semoga
mereka tidak mengatakan aku gila.”
“Apa
ada orang gila yang mampu berbicara sopan pada pelayan toko, memabaca label
barang dengan baik, membalas senyuman orang dan bisa menghitung uang di depan
kasir?”
“Pantas
saja pelayannya, menyuruhku diam ditempat.”
“Lalu?”
“Dia
terburu-buru mencari barang yang saya butuhkan, mengantar ke kasir dan memunggu
hingga aku keluar toko.”
“Jangan
terlalu curiga dengan kebaikan orang.”
“Oh,
tidak.”
“Sudalah,
mandi lalu sembayang.”
Sungguh
pelajaran yang berharga. Kerja yang tergesa-gesa dan tidak memperhatikan
penampilan memang ada hal tidak baiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar