TUGAS
PROYEK PERTAMAKU DI KELAS VIII
Ayam
berkoko terdengar silih berganti. Rasa mengantuk masih mengekangku untuk
bangun. Mata berat untuk dibuka. Aku menarik kembali selimut yang tidak lagi
menutupi tubuh seutuhnya. Tiba-tiba suara pintu terdengar dibuka
berlahan-lahan.
“Bu,
aku masih mengantuk.” Jawabku.
Ibu
telah duduk dipiggir ranjang. Perempuan penyayang itu memegang punggungku. Lalu
berbisik dengan pelan.
“Udin,
katanya mau memasak sarapan pagi sendiri! Kok belum bangun?”
“Ini
kan masih gelap?”
“Nih
lihat!”
Sebuah
jam beker tepat berada di depanku.
“Astaga!”
Aku
langsung duduk dan turun cepat dari tempat tidur, tetapi tangan ibu meraih
lenganku.
“Shalat
subuh dulu. Nanti ibu tunggu di dapar ya!”
“Hum,
baiklah bu.” Kataku sambil menguap.
Kecupan
kecil menjadi isyarat kasih sayangnya padaku. Setelah membelai rabutku, Wanita
lembut itu menghilang dibalik pintu kamar.
“Bu,
dimana kelapanya disimpan?”
“Cari
dikulkas bagian bawah!”
“Pisangnya?”
“Ini…”
“Ubi
parutnya mana bu?”
“Nak,
sini! Lihat, semua sudah dimeja bukan?”
“Wah,
terimaksih bu.”
Aku
pun mulai membelah pisang menjadi empat bagian. Memotong horizontal lalu vertikal.
Sesekali ibu memperhatikan dengan teliti. Kadang dia pun membantu. Perempuan
kebangganku itu mulai memasukan air dalam panci. Aku pun langsung mengangkatnya
dan menempatkan di atas kompor gas. Tidak lupa saringannya dipasang lalu
pemansnya dinyalakan.
Sambil
menunggu mendidih, aku mencampurkan ubi parut dengan perasan air suji dan
pandan. Ibu menyarakan, memasukan gula pasir sedikit agar terasa manis. Adukan tangan
membuatnya menjadi warna hijau yang merata. aku mulai membungkus tiap potongan
pisang. Bukan pakai daun, kertas ataupun plastik. Parutan ubi kayu yang telah
dipipihkan menjadi mantel tebalnya. Setelah rata, bongkahan pisang ditempatkan
dibagian tengah.
Kini
bontalan loncong pipih hijau telah banyak. Saat air mulai mendidih, pisang yang
telah dibungkus parutan ubi dimasukan dalam panci. Menggu sekitar dua puluh
menit, masakan telah matang. Setiap potongan diangkat dengan penjepit lalu
diletakkan ditalenan bambu. Setelah agak kering ditaburi parutan kelapa. Setiap
potongan dibolak-balik. Tujuannya, agar semua bagian memiliki parutan kelapa.
Sebelum
difoto, aku harus menatanya diatas piring. Proses penyajian mendapatkan nilai
tersendiri dari guru prakaryaku.
Akhirnya
tugas memasak telah dilakukan. Setelah mengrim hasilnya melalui WhatsApp group
kelas, aku mengemas beberapa potong untuk kegiatan sarapan pagi di sekolah. Sebotol
minuman juga dimasukan ada ransel sekolah.
Setelah
mandi, aku mengambil selembar kertas untuk membuat prosedur kerja yang telah
dilakukan. Aku memberi nama masakan sarapan pagi ini dengan sebutan Sangara
Banda Wangi Hijau Ala Udin. Bau pandan dan warnanya menjadi alasannya. Alat dan
bahan serta urutan pembuatannya dituis dengan singkat dan jelas. Ibuku
memberikan catatan kecil dan tanda tangan pada kertas itu. Begitulah arahan
guruku minggu lalu.
Hari
masih pagi ketika ayahku tiba digerbang sekolah. Setelah berpamitan, aku pun
masuk ke ruang kelas. Rupanya bukan aku yang pertama datang. Empat orang
rekanku telah duduk manis dibangkunya. Kami pun berbincang tentang menu sarapan
pagi hari ini.
Walaupun
telah siap disantap namun waktunya belum tiba. Setelah jam istirahat, menjadi
janji yang terikrar. Semua menu akan dinilai saat pembelajaran prakarya. Hal
ini menjadi tugas proyek kecil untuk penilaian keterampilan. Guruku memberi
tema, “Sarapan Pagi dari Menu Kebersamaan di Keluarga.”
Sapaan
salam Pak Suhardin mengagetkanku. Ini pertama kali melakukan presentase dalam
pembelajaran.
“Kamu
jangan takut. Semuanya kan dilakukan sendiri. Jadi bisa diceritakan bukan? Ibu
yakin, kamu akan melaluinya dengan baik.” Kata Ibuku.
Itulah
nasihat saat aku berpamitan pagi ini. Kata-kata itu bagai sugesti pembangkit
semangat. Setelah beberapa teman berbicara, jantungku mulai berdebar keras. Apalagi
pak guru merekamnya dengan handphone! Aku menghitung, tinggal dua rekan maka
tibalah giliranku.
“Udin,
kamu bikin sarapan pagi apa?” Tanya guruku sambil tersenyum.
“Sanggara
Banda Wangi Hijau Ala Udin, pak.”
“Wah
hebat! Bisa kamu ceritakan bagaima membuat makanan yang luar biasa ini?”
Akupun
mulai beraksi. Perasaan canggung dan gugup menghilang seketika. Walapun kamera
sangat dekat dan perhatian kawan-kawanku sangat serius, aku mampu melewatinya
dengan penuh ketenangan. Pak Suhardin terus mengangguk dan tersenyum lebar.
Guru yang suka humor itu, mengambil sepotong lalu membelahnya. Mengamati bagian
dalamnya.
Aku
berhenti seketika berbicara. Hal tak terduka akhirnya terjadi. Guruku mengambil
garpunya dan mencicipi menu masakan sarapan pagi itu.
“Hum,
enak sekali makanan ini. Waktu kecil, bapak sering memakannya.”
“Apakah
bapak pernah membuatnya?”
“Bukan
hanya membuat nak, bapak dulu penjual sanggara banda.”
Suara
riuh di ruang kelas terdengar keras. Aku tidak paham, mengapa mereka rebut seketika.
Aku hanya fokus memperhatikan guruku melahap sepotong sanggara banda buatanku.
“Kamu
tau, apa artinya sanggara banda?”
“Tidak
pak!”
“Sanggara
itu artinya pisang. Menurut cerita turun temurun, pisang ini menjadi makanan mewah
pada saat itu. bisa dibilang harta yang berharga. Kebanyakan orang Belanda saat
penjajahan mengkonsumsi ini. Makanya disebut seperti itu. dalam kamus, banda
itu adalah harta.”
Pak
guru memang suka membuat muidnya tidak tegang. Setelah bercerita, Beliau
membuka daftar nilai. Tangannya menunjuk Muhammad Mauludin. Aku kaget ketika melihatnya
menulis angkanya. Setelah menghitungnya, dia memberikan angka 96 untuk menu,
sajian dan penampilanku. Hatiku pun sangat senang. Guruku itu akhirnya berlalu
dari hadapanku. Acungan jempol dan senyum membekas dipikiranku hingga tiba di rumah.
Kesan itu menjadi bahan cerita di meja makan bersama ibu dan ayahku. Kisah yang
dibalas senyum oleh keduanya saat makan malam berlangsung.
Terimaksih
pak guru. Bapak telah mengajarkan hal yang berarti dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar