Selasa, 12 Oktober 2021

BULETIN SEVENTEEN : TUGAS PROYEK PERTAMAKU DI KELAS VIII - SANGGARA BANDA WANGI HIJAU ALA UDIN

 


TUGAS PROYEK PERTAMAKU DI KELAS VIII

 

Ayam berkoko terdengar silih berganti. Rasa mengantuk masih mengekangku untuk bangun. Mata berat untuk dibuka. Aku menarik kembali selimut yang tidak lagi menutupi tubuh seutuhnya. Tiba-tiba suara pintu terdengar dibuka berlahan-lahan.

“Bu, aku masih mengantuk.” Jawabku.

Ibu telah duduk dipiggir ranjang. Perempuan penyayang itu memegang punggungku. Lalu berbisik dengan pelan.

“Udin, katanya mau memasak sarapan pagi sendiri! Kok belum bangun?”

“Ini kan masih gelap?”

“Nih lihat!”

Sebuah jam beker tepat berada di depanku.

“Astaga!”

Aku langsung duduk dan turun cepat dari tempat tidur, tetapi tangan ibu meraih lenganku.

“Shalat subuh dulu. Nanti ibu tunggu di dapar ya!”

“Hum, baiklah bu.” Kataku sambil menguap.

Kecupan kecil menjadi isyarat kasih sayangnya padaku. Setelah membelai rabutku, Wanita lembut itu menghilang dibalik pintu kamar.

 

 

“Bu, dimana kelapanya disimpan?”

“Cari dikulkas bagian bawah!”

“Pisangnya?”

“Ini…”

“Ubi parutnya mana bu?”

“Nak, sini! Lihat, semua sudah dimeja bukan?”

“Wah, terimaksih bu.”

Aku pun mulai membelah pisang menjadi empat bagian. Memotong horizontal lalu vertikal. Sesekali ibu memperhatikan dengan teliti. Kadang dia pun membantu. Perempuan kebangganku itu mulai memasukan air dalam panci. Aku pun langsung mengangkatnya dan menempatkan di atas kompor gas. Tidak lupa saringannya dipasang lalu pemansnya dinyalakan.

Sambil menunggu mendidih, aku mencampurkan ubi parut dengan perasan air suji dan pandan. Ibu menyarakan, memasukan gula pasir sedikit agar terasa manis. Adukan tangan membuatnya menjadi warna hijau yang merata. aku mulai membungkus tiap potongan pisang. Bukan pakai daun, kertas ataupun plastik. Parutan ubi kayu yang telah dipipihkan menjadi mantel tebalnya. Setelah rata, bongkahan pisang ditempatkan dibagian tengah.

Kini bontalan loncong pipih hijau telah banyak. Saat air mulai mendidih, pisang yang telah dibungkus parutan ubi dimasukan dalam panci. Menggu sekitar dua puluh menit, masakan telah matang. Setiap potongan diangkat dengan penjepit lalu diletakkan ditalenan bambu. Setelah agak kering ditaburi parutan kelapa. Setiap potongan dibolak-balik. Tujuannya, agar semua bagian memiliki parutan kelapa.

Sebelum difoto, aku harus menatanya diatas piring. Proses penyajian mendapatkan nilai tersendiri dari guru prakaryaku.

Akhirnya tugas memasak telah dilakukan. Setelah mengrim hasilnya melalui WhatsApp group kelas, aku mengemas beberapa potong untuk kegiatan sarapan pagi di sekolah. Sebotol minuman juga dimasukan ada ransel sekolah.

Setelah mandi, aku mengambil selembar kertas untuk membuat prosedur kerja yang telah dilakukan. Aku memberi nama masakan sarapan pagi ini dengan sebutan Sangara Banda Wangi Hijau Ala Udin. Bau pandan dan warnanya menjadi alasannya. Alat dan bahan serta urutan pembuatannya dituis dengan singkat dan jelas. Ibuku memberikan catatan kecil dan tanda tangan pada kertas itu. Begitulah arahan guruku minggu lalu.

 

 

Hari masih pagi ketika ayahku tiba digerbang sekolah. Setelah berpamitan, aku pun masuk ke ruang kelas. Rupanya bukan aku yang pertama datang. Empat orang rekanku telah duduk manis dibangkunya. Kami pun berbincang tentang menu sarapan pagi hari ini.

Walaupun telah siap disantap namun waktunya belum tiba. Setelah jam istirahat, menjadi janji yang terikrar. Semua menu akan dinilai saat pembelajaran prakarya. Hal ini menjadi tugas proyek kecil untuk penilaian keterampilan. Guruku memberi tema, “Sarapan Pagi dari Menu Kebersamaan di Keluarga.”

Sapaan salam Pak Suhardin mengagetkanku. Ini pertama kali melakukan presentase dalam pembelajaran.

“Kamu jangan takut. Semuanya kan dilakukan sendiri. Jadi bisa diceritakan bukan? Ibu yakin, kamu akan melaluinya dengan baik.” Kata Ibuku.

Itulah nasihat saat aku berpamitan pagi ini. Kata-kata itu bagai sugesti pembangkit semangat. Setelah beberapa teman berbicara, jantungku mulai berdebar keras. Apalagi pak guru merekamnya dengan handphone! Aku menghitung, tinggal dua rekan maka tibalah giliranku.

“Udin, kamu bikin sarapan pagi apa?” Tanya guruku sambil tersenyum.

“Sanggara Banda Wangi Hijau Ala Udin, pak.”

“Wah hebat! Bisa kamu ceritakan bagaima membuat makanan yang luar biasa ini?” 

Akupun mulai beraksi. Perasaan canggung dan gugup menghilang seketika. Walapun kamera sangat dekat dan perhatian kawan-kawanku sangat serius, aku mampu melewatinya dengan penuh ketenangan. Pak Suhardin terus mengangguk dan tersenyum lebar. Guru yang suka humor itu, mengambil sepotong lalu membelahnya. Mengamati bagian dalamnya.

Aku berhenti seketika berbicara. Hal tak terduka akhirnya terjadi. Guruku mengambil garpunya dan mencicipi menu masakan sarapan pagi itu.

“Hum, enak sekali makanan ini. Waktu kecil, bapak sering memakannya.”

“Apakah bapak pernah membuatnya?”

“Bukan hanya membuat nak, bapak dulu penjual sanggara banda.”

Suara riuh di ruang kelas terdengar keras. Aku tidak paham, mengapa mereka rebut seketika. Aku hanya fokus memperhatikan guruku melahap sepotong sanggara banda buatanku.

“Kamu tau, apa artinya sanggara banda?”

“Tidak pak!”

“Sanggara itu artinya pisang. Menurut cerita turun temurun, pisang ini menjadi makanan mewah pada saat itu. bisa dibilang harta yang berharga. Kebanyakan orang Belanda saat penjajahan mengkonsumsi ini. Makanya disebut seperti itu. dalam kamus, banda itu adalah harta.”

Pak guru memang suka membuat muidnya tidak tegang. Setelah bercerita, Beliau membuka daftar nilai. Tangannya menunjuk Muhammad Mauludin. Aku kaget ketika melihatnya menulis angkanya. Setelah menghitungnya, dia memberikan angka 96 untuk menu, sajian dan penampilanku. Hatiku pun sangat senang. Guruku itu akhirnya berlalu dari hadapanku. Acungan jempol dan senyum membekas dipikiranku hingga tiba di rumah. Kesan itu menjadi bahan cerita di meja makan bersama ibu dan ayahku. Kisah yang dibalas senyum oleh keduanya saat makan malam berlangsung.

Terimaksih pak guru. Bapak telah mengajarkan hal yang berarti dalam hidupku.

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KELAS BERCERITA DALAM TAMU SAGA

  Bukan Pelajaran Bahasa atau Seni. Ini tentang sains dalam mendorong numerasi dan literasi dilingkungan sekolah. Ketika rapor pendidikan me...